Akhir tahun lalu, dalam rapat koordinasi di ruang tengah kantor aku diberi kepercayaan sebagai Ketua Panitia acara dua tahunan KIARA. Sebagai yang baru bergabung beberapa bulan saja, jelas aku keberatan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab untuk menyukseskan Temu Akbar Nelayan Indonesia 2015. Akhirnya, tanpa banyak debat, aku terima kepercayaan itu dengan asumsi akan dijalankan dengan koordinasi dan kerjasama sebaik-baiknya.
Mendatangkan ratusan nelayan dari berbagai wilayah di Indonesia ternyata penuh drama. Aku berpedoman pada keputusan rapat bahwa mereka, nelayan yang ingin diundang ke Jakarta harus memiliki cerita kontribusi yang nyata dan terlibat di KIARA dalam beberapa tema. Sebagai yang mengerti bagaimana timpangnya fasilitas di pesisir negeri, aku memaklumi bahwa pengiriman formulir yang di download dari situs KIARA dan dikirim via attachment email adalah hal yang sulit jadi nyata. Tapi, sebagai yang ingin setulus-tulusnya para nelayan belajar berorganisasi dan menulis ceritanya, aku tetap berpatokan pada tenggat waktu pendaftaran yang telah “ketok palu” ketika itu.
Sedikit sekali ternyata perwakilan nelayan yang mendaftar secara ideal. Tawar menawar juga pada akhirnya dan muncullah alternative untuk dari KIARA saja yang “mengejar” para peserta. Oke, pembelajaran kepanitiaan lain aku rasakan. Singkat kata, berkumpulah puluhan nelayan yang dilengkapi oleh para nelayan dari Teluk Jakarta hingga target ratusan peserta lulus kuota.
Peserta sudah, lalu bagaimana dengan pengisi acara?
KIARA memasang target setinggi-tingginya dengan menetapkan nama Presiden Republik Indonesia sebagai pembuka acara. Namun sayangnya, kami dari panitia belum juga berhasil menghadirkan Presiden, meski katanya sudah dilakukan berbagai cara oleh Sekjen KIARA. Sebagai Ketua Panitia, aku mengusahakan agar semua tokoh yang diundang merespon surat undangan yang aku tanda tangan. Tapi, hingga pukul 16.00 WIB menuju malam pembukaan, tidak ada kabar menggembirakan.
Kabar baik akhirnya dating ketika aku sedang terburu-buru ditunggu supir taksi yang sudah parkir di halaman kantor sejak tadi. Sebuah telpon masuk dengan nama yang aku masih ingat. Beliau adalah Komandan Batalyon ketika aku masuk menjadi Taruna STP Jakarta. Sang protokoler menteri itu menanyakan tentang status Presiden yang aku respon masih menunggu. Telpon ditutup dengan keterangan bahwa beliau akan menghubungi Sekretariat Negara terkait konfirmasi.
Telpon kedua kutunggu, supir taksi sudah mulai kurang sabar. Singkat sekali komunikasi kedua itu, sang protokoler meneruskan disposisi Setneg bahwa Menteri Susi lah yang akan mengambil jatah Presiden. Sebagai Ketua Panitia, aku lega dan berterima kasih luar biasa. Akhirnya, Temu Akbar Nelayan Indonesia akan dihadiri sang bintang media senusantara yang akan membuka acara.
Aku berangkat cukup awal, bersempit-sempit ria dengan para pekerja yang commuting ke Jakarta. Stasiun UI pagi itu cukup ramai, Selasa yang bertenaga. Saat sedang menjaga keseimbangan memasuki Manggarai, sebuah telpon masuk. Aku terdetak, jangan-jangan dari protokoler. Benar, ternyata salah satu protokoler Menteri sudah di lokasi, sementara KRL ku masih tersangkut antara Tebet dan Manggarai. Permohonan maaf dari masinis yang bergema di gerbong kereta aku umpat dalam hati.
Tiga ribu, nominal angka yang berkurang dari kartu multitripku. Tanpa lupa memberi senyum pada para tukang ojek di seberang pagar stasiun Gondangdia, aku bergegas menuju Gedung Juang 45, dimana acara puncak Temu Akbar Nelayan Indonesia bertempat. Tanpa ingin membuka aib panitia yang berlomba dengan waktu, aku mengambil beberapa keputusan cepat setelah berkoordinasi dengan staf senior lain.
Menteri akhirnya dating meski kami sebenar-benarnya belum siap. Ruang pertemuan masih kosong melompong untuk ukuran Temu Akbar, deretan kursi depan masih tak berpenghuni. Praktis, ketika aku menuntun Menteri masuk dulu ke holding room untuk menunggu, aku harus menerima kenyataan bahwa Menteri ini adalah sosok yang patut dipuji, sesuai nama. Beliau menolak untuk masuk ke ruang tunggu dan akhirnya aku bergerak cepat menuju ruang pertemuan.
Pembawa acara menyambut lalu rangkaian acara dimulai. Dengan segala kekurangan, pada akhirnya acara inti itu menurutku cukup melegakan. Di tengah-tengah orasi sang Menteri yang lugas, tanpa teks, argumentative akademis dan sangat komunikatif itu beberapa tokoh yang kami undang pun hadir. Puncak kelegaan adalah ketika sepertinya Bu Menteri cukup apresiatif karena Ketua Komisi IV dan Mantan Menteri KP turut hadir.
Bu Menteri, yang aku pernah sangsikan kompetensinya ternyata membuatku bertepuk tangan gegap gempita pada akhir orasinya. Beliau menggunakan kata ganti “ibu” untuk menjelaskan posisi sosialnya pada perwakilan nelayan, kelompok social yang telah menjadi bagian perjalanan hidupnya. Beliau menjelaskan dengan sangat logis tentang posisi KKP yang sekarang sedang sangat diperhatikan terkait berbagai kebijakan yang beliau canangkan. Tidak hanya lewat analogi pengalaman beliau sebagai “pemain” dalam bidang Perikanan Kelautan sebelumnya, kami juga terpesona dengan paparan logika matematika beliau terhadap suatu fenomena alam.
Paling menarik adalah ketika beliau menyambut Ketua Komisi IV DPR yang merupakan mitra kerjanya dengan membacakan sms dari masyarakat. Beliau mengaku menerima banyak sekali sms yang mempertanyakan kebijakannya, namun tak sedikit pula yang mengapresiasi dan mendukung keputusan beraninya.
Menurutku, beliau sejatinya Menteri yang ideal dan membanggakan diantara perangkat kerja Presiden Jokowi lainnya, palling tidak untuk saat ini, dimana 100 hari pemerintahan baru ini berjalan dengan berbagai drama. Dalam seremonial resmi untuk membuka acara, beliau secara apik sekali menggaungkan tiga kata yang mewakili visi misi kepemimpinannya sebagai Menteri.
Tiga kata itu adalah Kedaulatan, Keberlanjutan dan Kesejahteraan!
Kemudian seakan-akan ada Mas MT mengatakan, “Super Sekali..Susi!”
Mendatangkan ratusan nelayan dari berbagai wilayah di Indonesia ternyata penuh drama. Aku berpedoman pada keputusan rapat bahwa mereka, nelayan yang ingin diundang ke Jakarta harus memiliki cerita kontribusi yang nyata dan terlibat di KIARA dalam beberapa tema. Sebagai yang mengerti bagaimana timpangnya fasilitas di pesisir negeri, aku memaklumi bahwa pengiriman formulir yang di download dari situs KIARA dan dikirim via attachment email adalah hal yang sulit jadi nyata. Tapi, sebagai yang ingin setulus-tulusnya para nelayan belajar berorganisasi dan menulis ceritanya, aku tetap berpatokan pada tenggat waktu pendaftaran yang telah “ketok palu” ketika itu.
Sedikit sekali ternyata perwakilan nelayan yang mendaftar secara ideal. Tawar menawar juga pada akhirnya dan muncullah alternative untuk dari KIARA saja yang “mengejar” para peserta. Oke, pembelajaran kepanitiaan lain aku rasakan. Singkat kata, berkumpulah puluhan nelayan yang dilengkapi oleh para nelayan dari Teluk Jakarta hingga target ratusan peserta lulus kuota.
Peserta sudah, lalu bagaimana dengan pengisi acara?
KIARA memasang target setinggi-tingginya dengan menetapkan nama Presiden Republik Indonesia sebagai pembuka acara. Namun sayangnya, kami dari panitia belum juga berhasil menghadirkan Presiden, meski katanya sudah dilakukan berbagai cara oleh Sekjen KIARA. Sebagai Ketua Panitia, aku mengusahakan agar semua tokoh yang diundang merespon surat undangan yang aku tanda tangan. Tapi, hingga pukul 16.00 WIB menuju malam pembukaan, tidak ada kabar menggembirakan.
Kabar baik akhirnya dating ketika aku sedang terburu-buru ditunggu supir taksi yang sudah parkir di halaman kantor sejak tadi. Sebuah telpon masuk dengan nama yang aku masih ingat. Beliau adalah Komandan Batalyon ketika aku masuk menjadi Taruna STP Jakarta. Sang protokoler menteri itu menanyakan tentang status Presiden yang aku respon masih menunggu. Telpon ditutup dengan keterangan bahwa beliau akan menghubungi Sekretariat Negara terkait konfirmasi.
Telpon kedua kutunggu, supir taksi sudah mulai kurang sabar. Singkat sekali komunikasi kedua itu, sang protokoler meneruskan disposisi Setneg bahwa Menteri Susi lah yang akan mengambil jatah Presiden. Sebagai Ketua Panitia, aku lega dan berterima kasih luar biasa. Akhirnya, Temu Akbar Nelayan Indonesia akan dihadiri sang bintang media senusantara yang akan membuka acara.
Aku berangkat cukup awal, bersempit-sempit ria dengan para pekerja yang commuting ke Jakarta. Stasiun UI pagi itu cukup ramai, Selasa yang bertenaga. Saat sedang menjaga keseimbangan memasuki Manggarai, sebuah telpon masuk. Aku terdetak, jangan-jangan dari protokoler. Benar, ternyata salah satu protokoler Menteri sudah di lokasi, sementara KRL ku masih tersangkut antara Tebet dan Manggarai. Permohonan maaf dari masinis yang bergema di gerbong kereta aku umpat dalam hati.
Tiga ribu, nominal angka yang berkurang dari kartu multitripku. Tanpa lupa memberi senyum pada para tukang ojek di seberang pagar stasiun Gondangdia, aku bergegas menuju Gedung Juang 45, dimana acara puncak Temu Akbar Nelayan Indonesia bertempat. Tanpa ingin membuka aib panitia yang berlomba dengan waktu, aku mengambil beberapa keputusan cepat setelah berkoordinasi dengan staf senior lain.
Menteri akhirnya dating meski kami sebenar-benarnya belum siap. Ruang pertemuan masih kosong melompong untuk ukuran Temu Akbar, deretan kursi depan masih tak berpenghuni. Praktis, ketika aku menuntun Menteri masuk dulu ke holding room untuk menunggu, aku harus menerima kenyataan bahwa Menteri ini adalah sosok yang patut dipuji, sesuai nama. Beliau menolak untuk masuk ke ruang tunggu dan akhirnya aku bergerak cepat menuju ruang pertemuan.
Pembawa acara menyambut lalu rangkaian acara dimulai. Dengan segala kekurangan, pada akhirnya acara inti itu menurutku cukup melegakan. Di tengah-tengah orasi sang Menteri yang lugas, tanpa teks, argumentative akademis dan sangat komunikatif itu beberapa tokoh yang kami undang pun hadir. Puncak kelegaan adalah ketika sepertinya Bu Menteri cukup apresiatif karena Ketua Komisi IV dan Mantan Menteri KP turut hadir.
Bu Menteri, yang aku pernah sangsikan kompetensinya ternyata membuatku bertepuk tangan gegap gempita pada akhir orasinya. Beliau menggunakan kata ganti “ibu” untuk menjelaskan posisi sosialnya pada perwakilan nelayan, kelompok social yang telah menjadi bagian perjalanan hidupnya. Beliau menjelaskan dengan sangat logis tentang posisi KKP yang sekarang sedang sangat diperhatikan terkait berbagai kebijakan yang beliau canangkan. Tidak hanya lewat analogi pengalaman beliau sebagai “pemain” dalam bidang Perikanan Kelautan sebelumnya, kami juga terpesona dengan paparan logika matematika beliau terhadap suatu fenomena alam.
Paling menarik adalah ketika beliau menyambut Ketua Komisi IV DPR yang merupakan mitra kerjanya dengan membacakan sms dari masyarakat. Beliau mengaku menerima banyak sekali sms yang mempertanyakan kebijakannya, namun tak sedikit pula yang mengapresiasi dan mendukung keputusan beraninya.
Menurutku, beliau sejatinya Menteri yang ideal dan membanggakan diantara perangkat kerja Presiden Jokowi lainnya, palling tidak untuk saat ini, dimana 100 hari pemerintahan baru ini berjalan dengan berbagai drama. Dalam seremonial resmi untuk membuka acara, beliau secara apik sekali menggaungkan tiga kata yang mewakili visi misi kepemimpinannya sebagai Menteri.
Tiga kata itu adalah Kedaulatan, Keberlanjutan dan Kesejahteraan!
Kemudian seakan-akan ada Mas MT mengatakan, “Super Sekali..Susi!”
No comments:
Post a Comment